Dibalik Keterbatasan dalam Pesantren

Tepat 20 Agustus lalu aku kembali meninggalkan kampung halaman, Magelang. Setelah kurang lebih 3 bulan aku tinggalkan pesantren tercinta Al Hikmah 2 di Bumiayu, guna mengisi liburan pasca lulusan dengan menambah ilmu dan pengalamanku berkeliling Jawa Timur. Mulai dari kursus bahasa di Pare, pasaran pengajian di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, hingga belajar web. di kediaman Cak Novi di Surabaya. Cukup

Sudah tak sabar rasanya ingin segera kembali menjalani aktifitas di pesantern. Indahnya berbagi dalam kebersamaan, kehangatan suasana pengajian-pengajian bersama abah, kesibukan yang menyenangkan, itu semua hanya bisa di dapat di pesantren. Jika sampai saat ini masih ada saja masyarakat Indonesia yang memandang "sebelah mata" terhadap pendidikan di pesantren, menurutku hal itu kesalahan besar yang mungkin hanya karena mereka saja yang belum memahami sistem pembelajaran di pesantren yang sesungguhnya.

Menurut Abah Mukhlas (KH. Mukhlas Hayim, MA.) yang merupakan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah 2, hidup dengan serba kekurangan dan keterbatasan di lingkungan pesantren itu justru salah satu sistem/metode pembelajaran dan pembentukan karakter santri dalam pesantren. Jika dengan hidup serba kekurangan saja santri bisa bahagia dan tetap sehat-sehat saja, apalagi nanti jika mereka telah keluar dari pesantren dan mendapatkan hidup yang berkecukupan? secara otomatis mereka akan lebih siap dengan segala kondisi kehidupan yang akan dijalaninya. Jika boleh dibilang, entah mereka akan mendapatkan hidup dengan berdinding kardus pun pastinya mereka akan bisa mengatasi dan bersabar dengan hal itu. Begitu juga sebaliknya, semisal mereka(santri) telah mendapatkan kehidupannya dengan harta yang melimpah, itu semua tak akan melalaikannya dan membawanya dalam kesombongan. Karena mereka terbiasa dengan hidup yang sederhana di pesantren, justru mereka akan bisa memanfaatkan harta bendanya untuk kesederhanaan dan kebaikan yang  seperti yang telah diajarkan di pesantren.